Beranda | Artikel
Islam Saja, Sudah Cukup!
Kamis, 13 Oktober 2022

ISLAM SAJA, SUDAH CUKUP!

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Pendahuluan
Orang hidup harus beragama. Dalam beragama harus mencakup semua sisi kehidupan, menyangkut kegiatan rutinitas pribadi, keluarga, sosial, politik, budaya, da’wah, ibadah, aqidah dan lain sebagainya. Sedangkan agama yang benar dan paling sempurna adalah Islam. Semua urusan hidup ada tatanannya dalam Islam, bahkan tentang tata cara buang air. Maka Islam adalah solusi, dan Islam adalah tolok ukur kebenaran. Namun Islam yang dimaksud adalah Islam yang benar berdasarkan Al-Qur`ân dan Sunnah sebagaimana yang dipahami dan ditempuh oleh para salafush-shalih. Bukan Islam yang sudah tercampur dengan paham-paham lain. Karena itulah agama yang diterima di sisi Allah dan bermanfaat bagi pemeluknya hanyalah Islam:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [‘Ali ‘Imran/3:19].

Sesungguhnya kehadiran Islam merupakan nikmat yang sangat besar bagi kemanusiaan. Sayangnya banyak kaum Muslimin sekarang tidak secara optimal dapat memanfaatkan Islam sebagai nikmat. Petunjuk-petunjuk serta nilai-nilai Islam seolah lenyap dari dada-dada dan kehidupan nyata umat Islam. Hanya ada beberapa sisi tertentu yang masih tersisa.

Nikmat! Karena Islam merupakan ajaran yang membuat hidup manusia serba enak tidak saja di dunia, bahkan sampai akhirat. Tidak ada satupun dari ajaran Islam jika diterapkan secara benar kecuali pasti membawa kebaikan, kenikmatan dan ketenteraman  bagi umat. Dan itu berlaku sepanjang masa dan di manapun. Sebab ia merupakan wahyu paripurna dari Yang Maha Mengetahui kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia; Pencipta seru sekalian alam. Islam bukan agama rekayasa manusia. Tetapi agama sempurna yang datang dari Allah Yang Maha Sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-sempurnakan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.[al-Mâidah/5:3]

Imam Ibnu Katir rahimahullah mengatakan:
“Ini adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbesar bagi umat ini, karena Allah telah menyempurnakan agama (Islam) untuk mereka. Sehingga mereka tidak lagi memerlukan agama yang selain Islam dan tidak memerlukan seorang nabipun selain Nabi mereka (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah menjadikan Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi. Allah mengutus beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (seluruh) manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala apa yang beliau beritakan, maka ia adalah haq dan benar; tidak mengandung unsur dusta dan tidak pula mengandung unsur penyimpangan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`ân); kebenaran dan keadilannya. [al-An’âm/6:115].

Maksud “telah sempurna kebenarannya” ialah kebenaran berita-beritanya. Sedangkan maksud “sempurna keadilannya” ialah keadilan perintah-perintah serta larangan-larangannya. Ketika agama ini telah sempurna bagi mereka, maka menjadi sempurna pula nikmat untuk mereka.”[1]

Jadi Islam sebagai agama yang sempurna sungguh merupakan nikmat paling besar. Begitu pula kehadiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah Islam juga merupakan anugerah terbesar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ 

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [‘Ali ‘Imran/3:164].

Namun sayang, sebagian umat Islam, kurang atau bahkan tidak percaya, bahwa kenikmatan sejati hanya terletak dalam Islam. Oleh sebab itu, banyak kaum Muslimin yang kadang mencari solusi dari luar Islam dalam banyak persoalannya. Ini menyedihkan.

Seorang ulama besar yang sangat peduli terhadap kebaikan umat yaitu, Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri rahimahullah mengatakan: “Dari Allah Azza wa Jalla lah datangnya risalah (Islam), sedang tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyampaikannya, adapun kewajiban kita adalah menerimanya”.

Demikian perkataan Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri seperti yang disampaikan oleh Imam al-Bukhâri pada awal Bab Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ

dari Kitab at-Tauhid dalam Kitab Shahih al-Bukhâri.[2]

Ketika risalah Islam telah datang, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikannya dengan sempurna dan jelas, manusia terbagi menjadi dua golongan. Golongan yang mendapat taufiq Allah untuk mengikuti jalan kebenaran, dan golongan yang tidak mendapat taufiq dari Allah hingga mereka mengikuti jalan-jalan lain. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. [al-An’âm/6:153]

Keistimewaan Syariat Islam
Syariat dan risalah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini memiliki tiga keistimewaan.[3]

Pertama. Bersifat kekal hingga hari kiamat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi.[al-Ahzâb/33:40]

Berkenaan dengan firman Allah:

   وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ

(tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi), Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa sesungguhnya tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Apabila sesudah beliau n tidak ada lagi seorang nabipun, maka apalagi untuk seorang rasul. Jelas lebih tidak ada lagi. Sebab kedudukan rasul lebih khusus daripada kedudukan nabi. Karena setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak sebaliknya. Untuk itu telah terdapat riwayat yang mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan oleh banyak sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Kemudian Ibnu Katsir mengemukakan sebagian riwayat tersebut.[4]

Di antara hadits yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ لِي أَسْمَاءً أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللَّهُ بِيَ الْكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا الْعَاقِب الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ . مبفق عليه

Sesungguhnya aku memiliki banyak nama. Aku adalah Muhammad, aku juga Ahmad, akupun bernama al-Mahî yang dengan namaku itu Allah menghapuskan kekafiran dari muka bumi. Aku juga bernama al-Hâsyir yang manusia kelak akan dikumpulkan sesuai dengan jejak kakiku. Dan aku adalah al-‘Âqib (nabi paling akhir) yang tidak ada lagi nabi sesudahku”.[5]

Selanjutnya Imam Ibnu Katsir menegaskan: “Sesungghnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan dalam Kitab-Nya, demikan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah-nya yang mutawatir, bahwasanya tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Supaya orang-orang mengetahui bahwa barangsiapa yang mengaku memiliki kedudukan sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dia adalah pendusta, pembual, dajjal, sesat dan menyesatkan. Meskipun ketika ia dibakar api tidak mempan, atau bisa bermain sulap atau bisa mendatangkan berbagai macam sihir, jimat-jimat dan kemampuan-kemampuan aneh lainnya. Semuanya adalah mustahil (sebagai bukti kenabian) dan sesat bagi pandangan orang-orang yang punya akal.”[6]

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat Islam bersifat abadi, berlaku terus hingga hari kiamat.

Kedua. Bersifat umum meliputi semua manusia dan jin.
Semua manusia dan jin di akhir zaman ini masuk dalam umat da’wah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa saallam . Sebab setiap manusia dan jin, semenjak di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat, diajak dan diperintahkan untuk masuk ke dalam Islam.

Dalil yang menunjukkan cakupan da’wah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa saallam yang meliputi seluruh manusia tanpa kecuali, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨ

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”.[al-A’râf/7:158]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ. رواه مسلم.

Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya! Tidak seorangpun di antara umat ini yang mendengar tentang aku, baik ia Yahudi ataupun Nasrani, kemudian ia meninggal dunia sedangkan ia dalam keadaan tidak beriman kepada risalah yang aku bawa, kecuali ia pasti termasuk penghuni neraka.[7]

Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam umat da’wah beliau. Jika seseorang tidak mau beriman kepada beliau dan kepada risalah yang beliau emban, maka ia kafir.

Sedangkan dalil yang menunjukkan cakupan da’wah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa saallam meliputi seluruh jin, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاِذْ صَرَفْنَآ اِلَيْكَ نَفَرًا مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْاٰنَۚ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوْٓا اَنْصِتُوْاۚ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا اِلٰى قَوْمِهِمْ مُّنْذِرِيْنَ ٢٩  قَالُوْا يٰقَوْمَنَآ اِنَّا سَمِعْنَا كِتٰبًا اُنْزِلَ مِنْۢ بَعْدِ مُوْسٰى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِيْٓ اِلَى الْحَقِّ وَاِلٰى طَرِيْقٍ مُّسْتَقِيْمٍ ٣٠ يٰقَوْمَنَآ اَجِيْبُوْا دَاعِيَ اللّٰهِ وَاٰمِنُوْا بِهٖ يَغْفِرْ لَكُمْ مِّنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِّنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ ٣١ وَمَنْ لَّا يُجِبْ دَاعِيَ اللّٰهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِى الْاَرْضِ وَلَيْسَ لَهٗ مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءُ ۗ اُولٰۤىِٕكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`ân, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya), mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur`ân) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah ini dan berimanlah kepadanya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah ini, maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. [al-Ahqâf/46:29-32].

Ayat di atas menunjukan bahwa da’wah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa saallam juga meliputi semua golongan jin.

Ketiga. Bersifat sempurna.
Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-sempurnakan untukmu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. [al-Mâ`idah/5:3]

Dalam kitab Shahîh Muslim, telah disebutkan sebuah riwayat dari Salman al-Farisi  Radhiyallahu anhu , beliau ditanya:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ : قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ ؟ قَالَ :فَقَالَ:  أَجَلْ ، لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ. رواه مسلم

Dari Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu , ia berkata: Pernah ditanyakan kepadanya (Salman): “Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu kepada kalian hingga (tata cara) buang air?” Salman menjawab: “Ya! Sesungguhnya beliau telah melarang kami untuk menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar atau kencing. Melarang kami untuk bercebok dengan tangan kanan. Melarang kami untuk bercebok dengan kurang dari tiga buah batu. Atau melarang kami untuk bercebok (istinja’) dengan kotoran hewan atau dengan tulang”.[8]

Hadits ini menunjukkan betapa sempurna syariat Islam, dan menunjukkan bahwa syariat Islam meliputi semua apa yang diperlukan umat ini, meskipun hanya adab dan tata cara buang air.[9]

Jika masalah tata cara buang air saja diajarkan dalam syariat Islam, padahal itu hanya merupakan kebutuhan rutinitas sehari-hari manusia yang dianggap tidak penting, apalagi jika masalahnya menyangkut kebaikan dan keselamatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, seperti masalah aqidah, ibadah, mu’amalah dan hal-hal lain yang menyangkut kepentingan hidup manusia. Begitu juga masalah halal dan haram. Tidak mungkin syariat Islam akan mengabaikannya.

Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu anhu berkata:

تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يَطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ عِنْدَنَا مِنْهُ عِلْمٌ. رواه ابن حبان في صحيحه

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami, sedangkan tidak ada seekor burungpun yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali pada kami (selalu) ada ilmu dari Rasululah.[10]

Imam Ibnu Hibban mengatakan: Maksud “pada kami (selalu) ada ilmu dari Nabi”, ialah (ilmu yang) mencakup semua perintah-perintah beliau, larangan-larangan beliau, berita-berita beliau, perbuatan-perbuatan beliau dan hal-hal yang diperbolehkan oleh beliau”.[11]

Maksudnya, semua sudah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa saallam , meliputi segala keperluan hidup manusia.

Hadits senada juga dikeluarkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1647, dengan tambahan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu :

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidak ada sesuatupun yang dapat mendekatkan ke dalam surga dan menjauhkan dari neraka kecuali (semuanya) telah dijelaskan kepada kalian”.[12]

Berdasarkan ini, maka sesungguhnya seluruh kebutuhan umat dalam segala bidang, sudah terpenuhi oleh syariat Islam. Maka seorang Muslim tidak perlu lagi mencari solusi dari luar Islam dalam semua persoalannya. Hanya yang perlu dilakukan adalah mempelajari bagaimana Islam memberikan solusi.

Penutup
Dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Islam sudah sempurna, memenuhi segala keperluan manusia dalam semua sisi kehidupannya, tidak memerlukan pengurangan atau penambahan dari ajaran-ajaran lain atau gagasan-gagasan lain.

Penyusun kitab Taqrîb at-Tadmuriyyah mengatakan:
Tidak ada Islam setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan mengikuti beliau. Sebab Dinul-Islam yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa saallam merupakan penentu dan barometer kebenaran bagi semua agama atau aturan lain. Syariat Islam menghapus semua syariat terdahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ النَّبِيّٖنَ لَمَآ اٰتَيْتُكُمْ مِّنْ كِتٰبٍ وَّحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهٖ وَلَتَنْصُرُنَّهٗ ۗ قَالَ ءَاَقْرَرْتُمْ وَاَخَذْتُمْ عَلٰى ذٰلِكُمْ اِصْرِيْ ۗ قَالُوْٓا اَقْرَرْنَا ۗ قَالَ فَاشْهَدُوْا وَاَنَا۠ مَعَكُمْ مِّنَ الشّٰهِدِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, yaitu: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, maka sungguh hendaknya kamu bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan membelanya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [‘Ali ‘Imran/3:81].

Maksudnya, bahwa rasul yang datang dan membenarkan apa yang ada pada para nabi dalam ayat di atas adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur`ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan menjadi penentu bagi kitab-kitab yang lain itu.  [al-Mâ`idah/5:48].

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ

Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama yang lain. [at-Taubah/9:33].

Kemenangan agama Muhammad yang dimaksud pada ayat ini mencakup kemenangan secara taqdir sebagai ketetapan dari Allah maupun kemenangan ketika diperjuangkan sesuai ketentuan syari’at.[13] Maksudnya, Islamlah yang menjadi pengontrol bagi seluruh ajaran lainnya.

Dengan demikian, untuk mengukur benar tidaknya perkataan, perbuatan dan kegiatan manusia, baik menyangkut keyakinan, peribadatan, pergaulan, perdagangan, sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan semua sisi kehidupan lain; neraca dan barometernya adalah Islam.

Kebenaran adalah apa yang dibenarkan Islam, kebatilan adalah apa yang dinyatakan batil oleh Islam. Halal adalah apa yang dihalalkan oleh Islam, dan haram adalah apa yang diharamkan oleh Islam.

Maka Islam harus menjadi neraca bagi kehidupan manusia dalam rangka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk tujuan mendapat ridha-Nya dan mendapat kebahagiaan hakiki di akhirat. Tanpa kembali kepada Islam, orang akan mengalami kegagalan dan kesengsaraan. Wallahu Waliyyu at-Taufiiq.

Marâji`:

  1. Al-Hatsts ‘ala it Tiba’i as-Sunnah wa at-Tahdzir min al-Bida’ wa Bayan Khathariha, Syaikh Abdul- Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr, Fahrasah Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah Atsna’ an-Nasyr.
  2. ‘Ilmu Ushûl al-Bida’, Dirâsah Takmîliyyah Muhimmah fî ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi. Dâr ar-Râyah, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1413 H/1992 M.
  3. Fathul-Bari Syarh Shahîh al-Bukhâri.
  4. Shahîh Ibni Hibban bi Tartib Ibni Balban, Tahqiq: Syu’aib al-Arna’ûth, Mu’assasah ar-Risâlah, Cetakan III, Tahun 1418 H/1997.
  5. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M. .
  6. Tafsir Ibnu Katsir, Muqadimah Abdul Qadir al-Arna’uth, Dâr al-Faihâ` Dimasyq dan Dar as-Salam Riyadh, Cetakan I, Tahun 1414 H./1994 M.
  7. Taqrib at-Tadmuriyah (Tahqîqal-Itsbât lil Asmâ wash-Shifât, wa Haqîqat al-Jam’i Baina al-Qadar wa asy-Syar’i), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Takhrîj: Sayyid bin ‘Abbas bin ‘Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Cetakan I, Tahun 1413 H/1992 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/TahunXI/1428H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir berkait dengan Qs al-Mâidah/5 ayat 3, II/19.
[2] Lihat al-Hatsts ‘ala it-Tiba’i as-Sunnah wa at-Tahdzir min al-Bida’ wa Bayan Khathariha, Syaikh Abdul- Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr, Fahrasah Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah Atsna’ an-Nasyr, Cet. I, Th. 1425 H, hlm. 4. Lihat pula Fathu al-Bari Syarh Shahîh al-Bukhâri, XIII/503.
[3] Lihat al-Hatsts ‘ala it-Tiba’i as-Sunnah wa at-Tahdzir min al-Bida’ wa Bayan Khathariha, hlm. 5-17.
[4] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang  Surat al-Ahzâb/33 ayat 40, berkenaan dengan pengertian firman Allah di atas, III/650.
[5] HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsir, Surah Shaff, Bab I, no. 4896 –Fathu al-Bâri, VIII/640-641, dan Muslim, Kitab al-Fadha’il, Bab: Fî Asmâ’ihin , no. 6058 dan 6059 – Shahîh Muslim Syarh Nawawi, XV/104-105.
[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada penjelasan bagian akhir dari ayat di atas sesudah memaparkan hadits-hadits tentang penutup para nabi, III/652.
[7] HR Muslim. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Kitab al-Iman, Bab: Wujub al-Iman bi Risalati Nabiyyina Muhammad l ila Jami’i an-Nâs, no. 384, II/364.
[8] HR Muslim. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Kitab ath-Thaharah, Bab: al-Istithâbah, no. 605. III/144-145.
[9] Demikian seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul-Muhsin al-‘Abbad al-Badr, seorang ulama besar di Madinah yang menjadi salah satu pengajar di Masjid Nabawi, dalam kutaibnya: al-Hatsts ‘ala it-Tiba’i as-Sunnah wa at-Tahdzir min al-Bida’ wa Bayan Khathariha, hlm. 10.
[10] Hadits ini, oleh para ulama dikatakan sanadnya shahih. Lihat Shahîh Ibni Hibban bi Tartib Ibni Balban, I/267, no. 65. Tahqîq: Syu’aib al-Arna’uuth, Mu’assasah ar-Risâlah, Cet. III, Th. 1418 H/1997.
[11] Lihat footnote 10.
[12] Syaikh Ali bin Hasan mengatakan bahwa sanad hadits ini shahîh. Lihat ‘Ilmu Ushuul al-Bida’, Dirâsah Takmîliyyah Muhimmah fî ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, hlm. 19.
[13] Lihat Taqrib at-Tadmuriyah (Tahqîqal-Itsbât lil Asmâ` wash-Shifât, wa Haqîqat al-Jam’i Baina al-Qadar wa asy-Syar’i), Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, hlm. 107-108.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/62043-islam-saja-sudah-cukup.html